Mengolah Pembibitan Kambing Secara Komersial
Usaha pembibitan kambing komersial ada tiga tahap. Pertama, yakni
peternak membiayai pakan kambing. Kedua, kambing makan kambing
yang artinya peternak tÃdak perlu mengeluarkan biaya operasional dan
kantong, tetapi dari hasil penjualan anak kambing. Ketiga, kambing
memberi makan peternak, yang artinya hasil penjualan digunakan
untuk membiayai pakan kambing dan sisa keuntungan untuk peternak.
Bisnis pembibitan kambing memang memiliki risiko kegagalan lebih tinggi dibandingkan dengan usaha penggemukan. Selain itu, keuntungan akan diperoleh dalam periode lebih lama. Hal ini karena satu periode pembibitan dapat dipanen paling cepat delapan bulan jika kambing yang dipelihara jenis PE dan bisa lebih lama lagi untuk jenis kambing kacang. Selain itu, kegagalan berupa kematian anak dan induk lebih banyak terjadi karena siklus usaha pembibitan lebih panjang dan mengalami masa-masa yang rawan dalam fase hidup kambing, seperti fase kebuntingan, melahirkan, dan membesarkan anak kambing. Oleh karena itu, perlu pengelolaan secara profesional pada bisnis ini. Caranya dengan memilih bibit yang baik, pakan berkualitas, dan cara pemeliharaan yang baik. Kendala nonteknis, seperti pemasaran dan permodalan, dapat diatasi dengan membentuk kelompok. Selain itu, faktor manusia/peternak kambing harus diperhatikan karena paling menentukan dalam mewujudkan peternakan kambing yang komersial.
Agar dapat menguasal kunci-kunci teknis pembibitan kambing, dibutuhkan keseriusan peternak secara lebih intensif. Kunci-kunci itu yang akan dibahas dalam buku ini, mulai dari pemilihan bibit, pembuatan kandang, pemberian pakan berkualitas, pemeliharaan anakan, hingga sistem pemasaran yang tepat. Selain itu, mengubah pola pikir peternak dan tradisional yang apa adanya menuju cara berpikir sebagai pebisnis kambing yang kreatif.
Agar usahanya komersial, jumlah pemeliharaan kambing di atas BLP (Break Event Point). Sebagai contoh, seorang peternak bekerja selama delapan bulan (satu periode panen) menginginkan pendapatan Rp2 juta per bulan atau Rpl 6 juta per periode. Berapa banyak kambing harus dipelihara agar peternak mendapat pendapatan sebesar itu dengan harga cempe umur tiga bulan Rp400.000,00 per ekornya? Dengan demikian, harus ada lima cempe yang dapat dijual per bulannya atau 40 ekor cempe per satu periode. Artinya, peternak tersebut harus memelihara minimal 20 ekor kambing induk jenis PE.
Kambing rata-rata melahirkan dua ekor anakan. Dengan memelihara 20 ekor, akan lahir anak kambing 40 ekor. Berdasarkan pengalaman, seorang pemelihara kambing hanya membutuhkan waktu maksimal 6jam per hari (setengah han) untuk mencari rumput atau daun-daunan yang cukup untuk pakan 20 ekor induk kambing. Upah tenaga kerja per hari di desa sekitar Rp50.000,00 menjadi Rp25.000,00 jika setengah hari, lalu dikalikan 30 hari sehingga ongkos tenaga kerja Rp750.000,00 per bulan. Dengan penghasilan Rp2 juta, berarti ada keuntungan sebesar Rpl .250.000,00 per bulan.
Yang harus menjadi perhatian bagi bisnis pembibitan kambing komersial adalah setiap kegagalan dalam produksi atau pemasaran akan menunda waktu memperoleh keuntungan. Bahkan, tidak jarang usaha akan berhenti alias gulung tikar. Dengan menyadari hal ini, peternak tidak terburu-buru untuk menikmati hasil dari usahanya dan mampu menerapkan pengelolaan keuangan yang cermat. Keuntungan tahap awal yang diperoleh pun digunakan untuk mempertahankan usaha dan menambah modal usaha.
Bisnis pembibitan kambing memang memiliki risiko kegagalan lebih tinggi dibandingkan dengan usaha penggemukan. Selain itu, keuntungan akan diperoleh dalam periode lebih lama. Hal ini karena satu periode pembibitan dapat dipanen paling cepat delapan bulan jika kambing yang dipelihara jenis PE dan bisa lebih lama lagi untuk jenis kambing kacang. Selain itu, kegagalan berupa kematian anak dan induk lebih banyak terjadi karena siklus usaha pembibitan lebih panjang dan mengalami masa-masa yang rawan dalam fase hidup kambing, seperti fase kebuntingan, melahirkan, dan membesarkan anak kambing. Oleh karena itu, perlu pengelolaan secara profesional pada bisnis ini. Caranya dengan memilih bibit yang baik, pakan berkualitas, dan cara pemeliharaan yang baik. Kendala nonteknis, seperti pemasaran dan permodalan, dapat diatasi dengan membentuk kelompok. Selain itu, faktor manusia/peternak kambing harus diperhatikan karena paling menentukan dalam mewujudkan peternakan kambing yang komersial.
Agar dapat menguasal kunci-kunci teknis pembibitan kambing, dibutuhkan keseriusan peternak secara lebih intensif. Kunci-kunci itu yang akan dibahas dalam buku ini, mulai dari pemilihan bibit, pembuatan kandang, pemberian pakan berkualitas, pemeliharaan anakan, hingga sistem pemasaran yang tepat. Selain itu, mengubah pola pikir peternak dan tradisional yang apa adanya menuju cara berpikir sebagai pebisnis kambing yang kreatif.
Agar usahanya komersial, jumlah pemeliharaan kambing di atas BLP (Break Event Point). Sebagai contoh, seorang peternak bekerja selama delapan bulan (satu periode panen) menginginkan pendapatan Rp2 juta per bulan atau Rpl 6 juta per periode. Berapa banyak kambing harus dipelihara agar peternak mendapat pendapatan sebesar itu dengan harga cempe umur tiga bulan Rp400.000,00 per ekornya? Dengan demikian, harus ada lima cempe yang dapat dijual per bulannya atau 40 ekor cempe per satu periode. Artinya, peternak tersebut harus memelihara minimal 20 ekor kambing induk jenis PE.
Kambing rata-rata melahirkan dua ekor anakan. Dengan memelihara 20 ekor, akan lahir anak kambing 40 ekor. Berdasarkan pengalaman, seorang pemelihara kambing hanya membutuhkan waktu maksimal 6jam per hari (setengah han) untuk mencari rumput atau daun-daunan yang cukup untuk pakan 20 ekor induk kambing. Upah tenaga kerja per hari di desa sekitar Rp50.000,00 menjadi Rp25.000,00 jika setengah hari, lalu dikalikan 30 hari sehingga ongkos tenaga kerja Rp750.000,00 per bulan. Dengan penghasilan Rp2 juta, berarti ada keuntungan sebesar Rpl .250.000,00 per bulan.
Yang harus menjadi perhatian bagi bisnis pembibitan kambing komersial adalah setiap kegagalan dalam produksi atau pemasaran akan menunda waktu memperoleh keuntungan. Bahkan, tidak jarang usaha akan berhenti alias gulung tikar. Dengan menyadari hal ini, peternak tidak terburu-buru untuk menikmati hasil dari usahanya dan mampu menerapkan pengelolaan keuangan yang cermat. Keuntungan tahap awal yang diperoleh pun digunakan untuk mempertahankan usaha dan menambah modal usaha.